Fortress Of Solitude

Ini hanya sebuah benteng, dimana semua rasa tersimpan. Dimana semua tumpah ruah dalam kata dan semua cerita yang tersisa untuk diceritakan.

My Photo
Name:
Location: Banda Aceh, Aceh, Indonesia

I'am a flying soul in the dark path of life. trying to touch the fantasy life as a human. I miss eternal...

Sunday, January 16, 2005

Renungan IV

Sebut saja Ibu Rani namanya.

Semasa kuliah ia tergolong berotak cemerlang dan memiliki idealisme tinggi. Sejak awal, sikap dan konsep dirinya sudah jelas: meraih yang terbaik, baik itu dalam bidang akademis maupun profesi yang akan digelutinya. Ketika Universitas mengirim kami untuk mempelajari Hukum Internasional di Universiteit Utrecht, di negeri bunga tulip, beruntung Rani terus melangkah. Sementara saya, lebih memilih menuntaskan pendidikan kedokteran dan berpisah dengan seluk beluk hukum dan perundangan. Beruntung pula, Rani mendapat pendamping yang "setara" dengan dirinya, sama-sama berprestasi, meski berbeda profesi.

Alifya, buah cinta mereka lahir ketika Rani baru saja diangkat sebagai staf diplomat bertepatan dengan tuntasnya suami Rani meraih gelar PhD. Konon nama putera mereka itu diambil dari huruf pertama hijaiyah "alif" dan huruf terakhir "ya", jadilah nama yang enak didengar : Alifya. Tentunya filosofi yang mendasari pemilihan nama ini seindah namanya pula.

Ketika Alif, panggilan untuk puteranya itu berusia 6 bulan, kesibukan Rani semakin menggila saja. Frekuensi terbang dari satu kota ke kota lain dan dari satu negara ke negara lain makin meninggi. Saya pernah bertanya, "Tidakkah si Alif terlalu kecil untuk ditinggal ?"

Dengan sigap Rani menjawab: "Saya sudah mempersiapkan segala sesuatunya. Everything is OK." Dan itu betul-betul ia buktikan. Perawatan dan perhatian anaknya walaupun lebih banyak dilimpahkan ke baby sitter betul-betul mengagumkan.

Alif tumbuh menjadi anak yang lincah, cerdas dan pengertian. Kakek neneknya selalu memompakan kebanggaan kepada cucu semata wayang itu tentang ibu-bapaknya. "Contohlah ayah-bunda Alif kalau Alif besar nanti." Begitu selalu nenek Alif, ibunya Rani bertutur di sela-sela dongeng menjelang tidurnya. Tidak salah memang. Siapa yang tidak ingin memiliki anak atau cucu yang berhasil dalam bidang akademis dan pekerjaannya?

Ketika Alif berusia 3 tahun, Rani bercerita kalau Alif minta adik. Waktu itu ia dan suaminya menjelaskan dengan penuh kasih-sayang bahwa kesibukan mereka belum memungkinkan untuk menghadirkan seorang adik buat Alif. Lagi-lagi bocah kecil ini "dapat memahami" orang tuanya. Mengagumkan memang. Alif bukan tipe anak yang suka merengek. Kalau kedua orang tuanya pulang larut, ia jarang sekali ngambek. Kisah Rani, Alif selalu menyambutnya dengan penuh kebahagiaan. Rani bahkan menyebutnya malaikat kecil. Sungguh keluarga yang bahagia, pikir saya. Meski kedua orang tua sibuk, Alif tetap tumbuh penuh cinta. Diam-diam hati kecil saya menginginkan anak seperti Alif.

Suatu hari, menjelang Rani berangkat ke kantor, entah mengapa Alif menolak dimandikan baby-sitter-nya. "Alif ingin bunda mandikan," ujarnya. Karuan saja Rani yang dari detik ke detik waktunya sangat diperhitungkan, menjadi gusar. Tak urung suaminya turut membujuk agar Alif mau mandi dengan tante Mien, baby-sitter-nya. Peristiwa ini berulang sampai hampir sepekan, " Bunda, mandikan Alif," begitu setiap pagi. Rani dan suaminya berpikir, mungkin karena Alif sedang dalam masa peralihan ke masa sekolah jadinya agak minta perhatian.
Suatu sore, saya dikejutkan telponnya Mien, sang baby sitter. "Bu dokter, Alif demam dan kejang-kejang. Sekarang di emergency.” Setengah terbang, saya pun ngebut ke UGD. But it was too late. Allah sudah punya rencana lain. Alif, si Malaikat kecil keburu dipanggil pemiliknya.

Rani, bundanya tercinta, yang ketika diberi tahu sedang meresmikan kantor barunya, shock berat. Setibanya di rumah, satu-satunya keinginan dia adalah memandikan anaknya. Dan itu memang ia lakukan, meski setelah tubuh si kecil terbaring kaku. "Ini bunda, Lif. Bunda mandikan Alif," ucapnya lirih, namun teramat pedih.

Ketika tanah merah telah mengubur jasad si kecil, kami masih berdiri mematung. Berkali-kali Rani, sahabatku yang tegar itu berkata, "Ini sudah takdir, iya, kan? Aku di sebelahnya ataupun di seberang lautan, kalau sudah saatnya, dia pergi juga, kan ?”

Saya diam saja mendengarkan. "Ini konsekuensi dari sebuah pilihan," lanjutnya lagi, tetap tegar dan kuat. Hening sejenak. Angin senja berbaur aroma kamboja. Tiba-tiba Rani tertunduk.

"Aku ibunya !" serunya kemudian. “Bangunlah, Lif. Bunda mau mandikan Alif. Beri kesempatan bunda sekali lagi saja, Lif".

Rintihan itu begitu menyayat. Detik berikutnya ia bersimpuh, sambil mengais-ngais tanah merah...

Renungan III

Ketika usiamu 1 tahun, ia menyuapi dan memandikanmu.
Kau membalasnya dengan menangis sepanjang malam.

Ketika usiamu 2 tahun, ia mengajarimu melangkahkan kaki.
Kau membalasnya dengan lari menjauh kala ia memanggilmu.

Ketika usiamu 3 tahun, ia menyiapkan sarapanmu dengan segala cinta kasih.
Kau membalasnya dengan membanting piring di lantai.

Ketika usiamu 4 tahun, ia memberimu seperangkat krayon.
Kau membalasnya dengan mencorat-coret meja makan.

Ketika usiamu 5 tahun, ia mengenakan pakaian untuk berlibur.
Kau membalasnya dengan bermain-main di onggokan lumpur.

Ketika usiamu 6 tahun, ia mengantarmu ke sekolah.
Kau membalasnya dengan berteriak: “AKU NGGAK MAU SEKOLAH!”

Ketika usiamu 7 tahun, ia menghadiahimu bola sepak.
Kau membalasnya dengan melemparkannya ke jendela tetangga sebelah.

Ketika usiamu 8 tahun, ia memberimu es krim.
Kau membalasnya dengan menciprat-cipratkannya di sekujur badanmu.

Ketika usiamu 9 tahun, ia memanggilkan guru les piano.
Kau membalasnya dengan bermalas-malasan untuk berlatih.

Ketika usiamu 10 tahun, ia mengantarmu sepanjang hari, dari main bola sampai senam, dari satu pesta ulang tahun ke pesta ulang tahun lainnya.
Kau membalasnya dengan melompat dari mobil secepat kilat dan tanpa menengok lagi.

Ketika usiamu 11 tahun, ia membawamu dan teman-temanmu nonton film.
Kau membalasnya dengan memintanya duduk di barisan lain.

Ketika usiamu 12 tahun, ia menegurmu untuk tidak menonton acara tivi tertentu.
Kau membalasnya dengan menunggunya sampai ia bepergian.

Ketika usiamu 13, ia memintamu memotong rambut baru.
Kau membalasnya dengan mengatakan bahwa ia tidak punya selera.

Ketika usiamu 14, ia membayarkan ongkos untuk satu bulan berlibur.
Kau membalasnya dengan tak sekalipun mengirimkan kabar.

Ketika usiamu 15, ia pulang bekerja, dan mengharap mendapatkan pelukanmu.
Kau membalasnya dengan mengunci kamar tidurmu.

Ketika usiamu 16, ia mengajarimu mengendarai mobil.
Kau membalasnya dengan mencuri-curi tiap kesempatan.

Ketika usiamu 17, ia mengharapkan telepon penting.
Kau membalasnya dengan menggunakan telepon sepanjang malam.

Ketika usiamu 18, ia menangis di hari kelulusan sekolahmu.
Kau membalasnya dengan pergi berpesta sampai pagi.

Ketika usiamu 19, ia membayar uang SPP perguruan tinggimu, mengantarmu membawakan tas ke kampus.
Kau membalasnya dengan mengucapkan selamat tinggal di pintu gerbang asrama agar tidak merasa malu pada teman-teman.

Ketika usiamu 20, ia bertanya apakah kamu telah menaksir seseorang.
Kau membalasnya dengan mengatakan: “Itu bukan urusanmu.”

Ketika usiamu 21, ia mengusulkan satu pekerjaan untuk karir masa depanmu.
Kau membalasnya dengan mengatakan “Aku tak ingin seperti kamu.”

Ketika usiamu 22, ia memelukmu di hari wisudamu.
Kau membalasnya dengan meminta ditraktir liburan ke Eropa.

Ketika usiamu 23, ia menghadiahimu furnitur untuk apartemen pertamamu.
Kau membalasnya dengan menyebut furnitur itu kepada teman-temanmu sebagai barang rongsokan.

Ketika usiamu 24, ia menjumpai tunanganmu dan menanyakan rencana masa depanmu.
Kau membalasnya dengan berkata: “Uuuuhhh, Ibu…!”

Ketika usiamu 25, ia membantu membiayai pesta perkawinanmu, dan ia menangis haru, dan menegaskan betapa ia mencintaimu.
Kau membalasnya dengan pindah kota menjauhinya.

Ketika usiamu 30, ia menelepon dan memberimu nasehat tentang bayimu.
Kau membalasnya dengan mengguruinya: “Semuanya kini sudah berbeda.”

Ketika usiamu 40, ia menelepon mengingatkan hari ulang tahun familimu.
Kau membalasnya dengan berkata, “Ahh, betapa sibuknya aku sekarang.”


Ketika usiamu 50, ia sakit-sakitan dan membutuhkanmu untuk menjagainya.
Kau membalasnya dengan membacakan kisah betapa merepotkannya orangtua bagi anak-anaknya.

Sampai, suatu hari, ia pergi dengan tenang untuk selamanya. Dan segala yang tak pernah kau bayangkan sebelumnya, bagai halilintar, datang menyambar JANTUNGMU.